Apakah Mendaki Mengganggu Biodiversity?

(Yogyakarta, 2025) Perubahan kondisi ekologis dan lingkungan dapat menjadi awal dari perubahan pola hidup masyarakat. Hal ini karena perubahan kondisi di alam akan mempengaruhi rantai makanan yang akan berdampak pada konsumen alami di atas nya. Situasi ini memiliki peranan yang erat pada aspek biodiversity, yang mengarah pada keragaman hayati di alam. Biodiversity atau keanekaragaman hayati merupakan variasi kehidupan yang meliputi tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. Keanekaragaman ini sangat penting karena menopang keseimbangan alam dan menyediakan berbagai jasa lingkungan seperti penyediaan oksigen, air, pangan, hingga obat-obatan. Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas dengan keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, Indonesia memiliki 22 tipe ekosistem dan 75 tipe vegetasi, termasuk ribuan spesies burung, mamalia, serangga, ikan, dan tumbuhan yang terus bertambah seiring eksplorasi ke daerah-daerah yang belum tersentuh. 

Untuk melindungi kekayaan hayati tersebut, Indonesia telah menetapkan berbagai kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa. Kawasan-kawasan ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera, Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur, hingga Taman Nasional Lorentz di Papua. Luas kawasan konservasi ini mencapai jutaan hektare dan berfungsi sebagai habitat berbagai spesies langka dan endemik.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya alam, aktivitas mendaki gunung juga mengalami lonjakan popularitas di Indonesia. Mendaki kini menjadi bagian dari gaya hidup, terutama di kalangan generasi muda, yang sering membagikan pengalaman mereka di media sosial. Dalam satu dekade terakhir, tren pendakian gunung di Indonesia meningkat pesat, terutama di kalangan generasi muda. Dikutip dari Detik, data Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) mencatat, ada kurang lebih 3 juta pendaki gunung domestik di Indonesia. Adapun turis asing kurang lebih 150 ribu yang mendaki gunung di Indonesia. Namun, tingginya animo mendaki ini menimbulkan tantangan serius bagi pelestarian biodiversity. Kebiasaan seperti meninggalkan sampah, membuat api unggun sembarangan, dan mengambil flora atau fauna langka masih sering ditemukan di jalur pendakian. Data dari Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menunjukkan bahwa selama musim pendakian, lebih dari satu ton sampah harus diangkut dari jalur pendakian, yang secara menyeluruh merusak habitat dan mengganggu satwa liar serta ekosistem hutan. 

Dampak lain dari aktivitas pendakian yang tidak bertanggung jawab adalah kerusakan vegetasi akibat erosi dan terbukanya kanopi hutan, yang berakibat pada hilangnya habitat penting. Gangguan suara dan kehadiran manusia juga menyebabkan satwa liar menjauh dari habitat aslinya. Selain itu, kebakaran hutan yang dipicu oleh api unggun pendaki yang tidak terkontrol menjadi ancaman nyata bagi kawasan konservasi. Data deforestasi dari Simontini pada tahun 2023 menunjukkan bahwa deforestasi masih terjadi di berbagai wilayah, termasuk kawasan hutan lindung dan produksi, yang memperburuk kondisi keanekaragaman hayati. 

Untuk menjaga biodiversity jangka panjang, diperlukan berbagai solusi yang terintegrasi. Edukasi dan sosialisasi kepada pendaki tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan etika konservasi sangat krusial. Pembatasan jumlah pendaki melalui sistem kuota dan booking online, seperti yang diterapkan di Gunung Rinjani dan Semeru, metode tersebut efektif menekan dampak negatif terhadap ekosistem. Pengelolaan sampah dengan prinsip carry in carry out serta penyediaan fasilitas pengelolaan sampah di basecamp juga sangat membantu. Pengawasan ketat oleh petugas taman nasional dan relawan, serta rehabilitasi jalur pendakian yang rusak, menjadi langkah penting untuk memulihkan ekosistem. Pelibatan masyarakat lokal sebagai mitra pengelola kawasan konservasi juga terbukti meningkatkan keberhasilan pelestarian.

Beberapa kawasan pendakian di Indonesia telah berhasil menjadi contoh sukses dalam menjaga biodiversity. Taman Nasional Gunung Leuser dengan pengelolaan ketat dan pembatasan aktivitas wisata mampu menjaga habitat harimau, orangutan, dan badak Sumatera. Taman Nasional Gunung Rinjani menerapkan sistem kuota dan edukasi lingkungan yang efektif. Taman Nasional Komodo mengawasi ketat aktivitas wisatawan dan melibatkan masyarakat lokal sebagai ranger. Taman Nasional Kerinci Seblat mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat dan patroli anti-perburuan untuk menjaga habitat satwa langka.

Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa aktivitas mendaki gunung memang berpotensi mengganggu biodiversity jika tidak dilakukan dengan tanggung jawab. Namun, dengan pengelolaan yang baik, edukasi berkelanjutan, dan keterlibatan semua pihak, pendakian dapat tetap berjalan tanpa merusak keanekaragaman hayati yang ada. Menjaga biodiversity adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah dan pengelola kawasan konservasi, tetapi juga para pendaki dan masyarakat luas.

Oleh : Dani Abyan Adam

Weekly newsletter
No spam. Just the latest releases and tips, interesting articles, and exclusive interviews in your inbox every week.
Thank you! Your submission has been received!
Oops! Something went wrong while submitting the form.