(Yogyakarta, 2025) Emisi karbon menjadi isu yang kerap dijadikan bahan pembicaraan, karena keberadaan gas rumah kaca mampu menimbulkan polemik. Hal ini dikarenakan gas rumah kaca mampu mempercepat pemanasan global yang berpengaruh pada perubahan iklim. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya pemanasan global, salah satunya dengan alih guna energi fosil ke energi yang terbarukan. Pembakaran energi fosil mampu menciptakan gas buang yang mengandung berbagai polutan udara, seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), dan partikel-partikel kecil. Hadirnya polutan ini dapat ditekan dengan alih guna kendaraan berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik.
Transisi global menuju kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) sering dianggap sebagai solusi utama pengurangan emisi karbon di sektor transportasi. Namun, perdebatan mengenai dampak lingkungannya dari produksi baterai hingga sumber listrik menjadi tantangan yang perlu dikaji secara komprehensif. Data dari PLN menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik di Indonesia mampu mengurangi emisi karbon hingga 56% dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak (BBM), dengan biaya operasional yang 75% lebih hemat. Saat kita menilik lebih dekat, kendaraan listrik memang menawarkan keunggulan yang tak bisa diabaikan. Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, mengungkapkan bahwa penggunaan kendaraan listrik mampu mengurangi emisi karbon hingga 56 persen dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Bayangkan, energi yang dibutuhkan kendaraan listrik untuk menempuh jarak 10 kilometer hanya sekitar 1,2 kilowatt hour (kWh), menghasilkan emisi karbon sekitar 1 kilogram CO2e. Bandingkan dengan kendaraan konvensional yang menghabiskan 1 liter bahan bakar dengan emisi 2,4 kilogram CO2e untuk jarak yang sama. Angka ini bukan sekadar perhitungan, melainkan gambaran nyata bagaimana kendaraan listrik mampu mengurangi polusi udara yang selama ini menjadi permasalahan kota-kota besar.
Lebih dari itu, kendaraan listrik juga menawarkan efisiensi biaya yang menggiurkan. Dengan tarif listrik sekitar Rp1.700 per kWh, biaya menempuh 10 kilometer hanya sekitar Rp2.500, jauh lebih hemat dibandingkan Rp14.000 yang harus dikeluarkan untuk bahan bakar minyak. Hemat biaya hingga 75 persen ini menjadi daya tarik yang kuat bagi masyarakat yang ingin beralih tanpa harus mengorbankan performa dan kenyamanan berkendara. Bahkan, keputusan menggunakan kendaraan listrik saat ini tidak hanya sebagai tren ramah lingkungan, tetapi juga soal gaya hidup modern yang cerdas dan ekonomis.
Namun, keterkaitan kendaraan listrik tidak hanya berhenti pada angka-angka tersebut. Melihat skala yang lebih besar, sumber listrik yang digunakan juga perlu menjadi sorotan. Kondisi ini dikarenakan dengan adanya kebutuhan listrik yang besar maka diperlukan produksi yang lebih besar pula. Faktanya, dari data Dirjen Minerba pada kuartal akhir tahun 2024 sebanyak 67% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya operasionalnya. Indonesia masih sepenuhnya belum dapat melepaskan diri dan sangat bergantung pada penggunaan batubara sebagai sumber energi meski dunia terus bergerak menuju energi terbarukan. Selain hal tersebut, tantangan masih ada di depan mata. Infrastruktur pengisian daya yang belum merata dan ketersediaan bahan baku baterai menjadi hambatan yang harus diatasi. Perlu adanya kolaborasi dan dorongan dari pemerintah dan pihak swasta untuk pembangunan infrastruktur dan optimalisasi tenaga kerja yang kompeten untuk produksi skala besar.
Melihat dalam sudut pandang yang lebih luas, kendaraan listrik bukanlah solusi sempurna yang langsung menghapus jejak karbon secara instan. Namun, dengan segala keunggulan dan upaya yang terus dilakukan, kendaraan listrik merupakan langkah konkrit dan strategis dalam mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi. Berbagai elemen mampu menjadi penggerak terutama pihak pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Hadirnya teknologi ini dapat menjadi kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Sebuah masa depan di mana udara yang kita hirup tidak lagi tercemar, dan bumi tetap lestari untuk generasi yang akan datang.
Oleh : Dani Abyan Adam