Dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak dunia kembali mengalami lonjakan yang signifikan. Brent Crude sempat menyentuh kisaran $80 per barel, dipicu oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kekhawatiran terhadap gangguan suplai melalui Selat Hormuz. Goldman Sachs bahkan memperingatkan bahwa jika jalur vital ini terganggu, harga bisa melonjak hingga $100 per barel. Di tengah dinamika tersebut, muncul kembali pertanyaan penting: apakah kenaikan harga minyak mendorong percepatan transisi ke energi bersih?
Secara historis, tren peralihan ke energi terbarukan memang kerap mengalami percepatan ketika harga energi fosil meningkat. Dalam logika ekonomi, kondisi ini disebut sebagai efek substitusi: ketika harga minyak naik, baik konsumen maupun pelaku industri akan mencari alternatif energi yang lebih murah, lebih stabil, dan tentunya lebih berkelanjutan. Energi surya, angin, dan kendaraan listrik menjadi opsi yang semakin masuk akal dari sisi biaya maupun keberlanjutan.
Studi-studi menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak berpengaruh positif terhadap performa pasar saham perusahaan energi bersih. Dalam jangka panjang, investor cenderung mengalihkan modal ke sektor ini karena prospeknya yang lebih tahan terhadap volatilitas geopolitik. Hal ini juga diperkuat oleh laporan IEA (International Energy Agency) yang menyebutkan bahwa era "peak fossil fuel" akan segera berakhir sebelum tahun 2030, digantikan oleh dominasi listrik bersih yang terus berkembang. Sebagai contoh konkret, pada tahun 2023 energi bersih tercatat menyumbang sekitar $320 miliar terhadap pertumbuhan ekonomi global, setara dengan hampir 10 persen pertumbuhan PDB dunia.
Namun, percepatan transisi energi bersih tidak semata-mata bergantung pada harga minyak. Ada banyak tantangan yang membayangi. Di satu sisi, negara-negara produsen minyak justru menikmati lonjakan pendapatan dari harga tinggi, yang bisa memperlambat komitmen mereka terhadap target iklim. Di sisi lain, belum meratanya infrastruktur energi bersih dan ketidakpastian regulasi juga bisa menahan laju investasi dan adopsi teknologi rendah emisi, terutama di negara berkembang. Meski demikian, penurunan tajam dalam biaya Levelized Cost of Energy (LCOE) untuk energi terbarukan seperti surya dan angin, membuktikan bahwa hambatan biaya awal kini semakin teratasi.
Untuk mendorong transisi yang lebih efektif, perlu strategi lintas sektor yang kuat. Di antaranya adalah pemberian insentif fiskal untuk teknologi hijau, reformasi subsidi energi fosil, dukungan terhadap penelitian dan pengembangan teknologi bersih, serta skema investasi yang melibatkan kerja sama antara pemerintah dan swasta. Selain itu, penting juga menjaga keberlanjutan ekosistem dalam proses pengembangan energi terbarukan agar tidak menimbulkan dampak lingkungan baru yang kontraproduktif.
Kenaikan harga minyak dunia bukan sekadar tantangan, tetapi juga peluang strategis. Jika dikelola dengan tepat, kondisi ini dapat menjadi momentum untuk mempercepat transisi menuju energi bersih yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan. Bukan hanya demi stabilitas energi global, tetapi juga demi masa depan iklim dan generasi mendatang.