Padang Lamun sebagai Penyerap Karbon dan Mitigasi Perubahan Iklim

Ekosistem padang lamun mampu menyerap CO₂ melalui proses fotosintesis, mengubahnya menjadi biomassa (daun, rimpang, dan akar). Karbon organik yang dihasilkan dari fotosintesis ini tersimpan dalam jaringan tumbuhan maupun terperangkap di dalam sedimen dasar laut dalam jangka waktu lama. Dengan kata lain, lamun tidak hanya menyerap karbon dalam biomassa tetapi juga mengendapkannya di bawah sedimen, sehingga “menyimpan” karbon tersebut dalam ekosistem pesisir untuk waktu panjang. Sebagian besar karbon terakumulasi di dalam sedimen lamun, yang menjadikannya salah satu penyimpan karbon efektif di laut.

Padang lamun berperan besar dalam mitigasi iklim karena kemampuannya menyimpan karbon dalam jumlah besar per satuan luas. Menurut UNEP dan IPCC, lamun dapat menyimpan hingga sekitar 1.000 ton karbon per hektare (termasuk karbondioksida yang tersimpan di sedimen). Selain itu, padang lamun menyerap CO₂ sampai 35 kali lebih cepat dibandingkan hutan hujan tropis. Studi di Indonesia oleh Simamora (2010) menunjukkan padang lamun memiliki tingkat penyerapan karbon (dalam bentuk CO₂) yang sangat tinggi: sekitar 1.867 ton/km², jauh lebih besar dibanding mangrove (806 ton/km²) maupun terumbu karang (1.197 ton/km²). Data ini menegaskan bahwa, meskipun luasnya relatif sempit, efisiensi padang lamun dalam mengikat dan menyimpan karbon jauh melebihi sebagian besar ekosistem darat atau perairan lainnya.

Mekanisme Penyerapan dan Penyimpanan Karbon oleh Padang Lamun

Padang lamun menyerap karbon melalui fotosintesis seperti tumbuhan darat. Karbon dioksida (CO₂) diubah menjadi biomassa tumbuhan (daun, bunga, buah, akar, dan rimpang). Setiap bagian tumbuhan lamun menyimpan karbon dalam bentuk bahan organik. Akar dan rimpang lamun juga berfungsi menstabilkan sedimen dasar laut, sehingga partikel yang mengandung karbon organik terperangkap dan terakumulasi di dalam sedimentasi. Karbon organik ini kemudian dapat tetap berada di dalam sedimen selama puluhan hingga ratusan tahun asalkan ekosistemnya tidak terganggu. Dengan demikian, padang lamun bertindak sebagai “penjerat sedimen” yang menahan lumpur dan partikel organik, memperlambat laju pengendapan, sekaligus menyimpan karbon dalam jumlah besar.

Selain itu, fakta penting adalah sebagian besar karbon yang diserap lamun berakhir di sedimen, bukan hanya di dalam tumbuhan itu sendiri. Hal ini berarti lamun mampu menyimpan cadangan karbon yang sangat besar di dalam dasar laut. Dengan struktur akar yang padat, lamun dapat menahan sedimen dan mencegah erosi pantai, sehingga ekosistem ini tahan lama menyimpan karbon organik di habitatnya. Secara global, meski padang lamun hanya menutupi sekitar 0,2% dasar laut, ekosistem ini menyimpan sekitar 10% dari total karbon biru di lautan.

Kapasitas Serapan Karbon: Lamun vs Mangrove

Secara komparatif, padang lamun termasuk salah satu ekosistem dengan kapasitas penyimpanan karbon tertinggi:

  • Stok karbon (per area): Padang lamun dapat menyimpan hingga ~1.000 megagram (Mg) karbon per hektare, setara dengan hutan mangrove yang juga mendekati nilai tersebut. Sebagai perbandingan, hutan tropis darat umumnya menyimpan jauh lebih sedikit karbon per hektare, sehingga lamun menunjukkan efisiensi penyimpanan yang jauh lebih tinggi per luasnya.
  • Laju penyerapan: Lamun menyerap CO₂ sangat cepat. Menurut laporan UNEP, padang lamun menangkap karbon di atmosfer sampai 35 kali lebih cepat daripada hutan hujan tropis. Ini karena produktivitas fotosintetik lamun yang tinggi dan kemampuannya mengendapkan karbon ke dalam sedimen tanpa oksidasi yang signifikan.

Luas, Sebaran, dan Kerusakan Padang Lamun di Indonesia

Di Indonesia, padang lamun tersebar di berbagai perairan pesisir hampir di seluruh nusantara. Hasil verifikasi terbaru oleh BRIN (Pusat Riset Oseanografi) menunjukkan luas padang lamun yang telah dipetakan dan divalidasi baru 293.464 hektare. Angka tersebut dinilai masih jauh di bawah potensi total sebenarnya. KKP justru memperkirakan luas potensi padang lamun Indonesia mencapai sekitar 1,8 juta hektare, yang saat ini sedang dalam tahap validasi akhir peta nasional. Data ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemilik ekosistem padang lamun terbesar di dunia. Secara global, Indonesia memegang sekitar 17% cadangan karbon biru dunia, dengan 3,3 juta ha mangrove dan 1,8 juta ha lamun.

Namun, kondisi padang lamun Indonesia menghadapi banyak ancaman. Aktivitas manusia di pesisir seperti reklamasi pantai, pembangunan pariwisata, budidaya intensif (contoh: budidaya rumput laut), serta polusi air dari limbah industri dan pertanian dapat merusak lamun. Misalnya, di kawasan Nusa Lembongan (Bali) teridentifikasi penurunan luasan padang lamun akibat konversi lahan untuk pembangunan dan budidaya rumput laut di atas daerah lamun. Secara global pun, laporan sebelumnya menunjukkan penurunan rata-rata 2–5% per tahun pada luas lamun dunia akibat tekanan serupa (aktivitas manusia dan perubahan lingkungan). Di sisi iklim, pemanasan laut dan cuaca ekstrem juga dapat menghancurkan padang lamun melalui peningkatan gelombang besar dan ketidaksesuaian habitat.

Dampak Perubahan Iklim dan Aktivitas Manusia terhadap Lamun

Perubahan iklim global memberikan tekanan tambahan kepada ekosistem lamun. Kenaikan suhu permukaan laut, perubahan pola arus, dan kenaikan muka laut memengaruhi ketebalan cahaya yang mencapai daun lamun serta kestabilan sedimen bawah laut. IPCC mencatat bahwa ekosistem pantai (termasuk lamun) sudah mengalami stres dari kombinasi pemanasan global dan kenaikan muka laut. Lamun secara langsung merasakan risiko tinggi akibat perubahan iklim: diperkirakan ekosistem lamun akan menghadapi risiko tinggi hingga sangat tinggi di akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca tidak dikendalikan. Misalnya, cuaca ekstrem seperti badai tropis bisa menghancurkan hamparan lamun, dan kenaikan permukaan laut dapat mengubah habitat lamun kecuali lamun mampu bermigrasi ke pantai yang lebih tinggi (yang seringkali terhalang oleh konstruksi pantai).

Selain faktor iklim, aktivitas manusia merupakan penyebab utama degradasi lamun. Penangkapan ikan dengan alat pukat harimau atau trawl, penambangan pasir, dan peledakan ikan merusak struktur akar lamun. Pembuangan limbah dan sedimentasi berlebih dari daratan mengurangi kejernihan air, menurunkan cahaya yang diperlukan lamun untuk fotosintesis. Kegiatan pariwisata yang tak terkendali (jalan di atas lamun, penyelaman sembarangan) dan konversi lahan pesisir untuk pembangunan ikut mengurangi luasan lamun secara lokal. Secara keseluruhan, kombinasi tekanan iklim dan antropogenik mempercepat kerusakan padang lamun di Indonesia dan dunia.

Strategi Pelestarian dan Pengelolaan Padang Lamun

Untuk menjaga fungsi ekosistem lamun dalam menyerap karbon dan melindungi pesisir, berbagai strategi pengelolaan berkelanjutan perlu diterapkan:

  • Pemantauan dan pemetaan: Melakukan pemantauan rutin menggunakan pemetaan satelit, foto udara, dan survei bawah air untuk melacak perubahan luas dan kondisi padang lamun. Data yang akurat diperlukan agar pengambilan kebijakan dapat tepat sasaran.
  • Perlindungan hukum dan zonasi: Mewujudkan regulasi perlindungan (misalnya menetapkan zona larangan penangkapan ikan atau reklamasi di dekat hamparan lamun). Zona konservasi pesisir yang melarang penggunaan alat tangkap destruktif (trawl, bom ikan) sangat penting untuk menjaga ekosistem ini.
  • Pengelolaan perikanan berkelanjutan: Menetapkan kuota tangkap dan membatasi alat tangkap yang merusak lamun. Kegiatan perikanan yang lebih ramah lingkungan (misalnya modifikasi kapal agar lebih hemat bahan bakar) juga membantu mengurangi emisi gas rumah kaca secara keseluruhan.
  • Restorasi ekosistem: Melakukan rehabilitasi padang lamun yang rusak dengan menanam bibit lamun (restocking) dan mengurangi sumber kerusakan seperti sedimen berlebih. Proyek restorasi di berbagai lokasi (misalnya Lampung, Makassar) telah dilakukan untuk mengembalikan luas dan fungsi lamun.
  • Pengendalian pencemaran: Mengurangi pencemaran air dari industri, pertanian, dan sampah laut melalui pengelolaan limbah yang lebih baik. Air bersih meningkatkan kesehatan lamun karena cahaya matahari bisa menembus ke dasar laut.
  • Edukasi dan pelibatan masyarakat: Meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat pesisir tentang pentingnya lamun melalui kampanye edukasi dan partisipasi dalam konservasi. Keterlibatan nelayan dan warga lokal dalam pengawasan lamun (misalnya patroli zona larangan) dapat memperkuat kepatuhan regulasi dan keberhasilan program.
  • Penguatan kebijakan karon biru: Mengintegrasikan padang lamun ke dalam target nasional pengurangan emisi (NDC) dan pasar karbon. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Permen KP No.1/2025 yang menjadi payung hukum ekonomi karbon sektor kelautan, termasuk padang lamun. Dengan kerangka regulasi ini, nilai ekonomi konservasi padang lamun (sebagai penyerap karbon) dapat diakui dan diperdagangkan, serta menarik investasi bagi kelestariannya.

Pelestarian padang lamun sebaiknya dianggapi setara dengan upaya pelindungan mangrove dan terumbu karang. Dengan kombinasi langkah-langkah di atas—dari pemantauan ilmiah hingga kebijakan pengelolaan karbon biru—lamun dapat terus berfungsi sebagai “penyerap karbon” yang membantu mencapai target penurunan emisi dan menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir Indonesia.

Sumber: Berbagai laporan LIPI/BRIN, KKP, IPCC, dan lembaga konservasi menunjukkan bahwa padang lamun adalah ekosistem blue carbon yang sangat penting di Indonesia. Data luas, distribusi, serta rekomendasi pengelolaannya diperoleh dari sumber resmi (BRIN, KKP) dan kajian terkini.

Weekly newsletter
No spam. Just the latest releases and tips, interesting articles, and exclusive interviews in your inbox every week.
Thank you! Your submission has been received!
Oops! Something went wrong while submitting the form.