Terumbu karang menyerap karbon terutama melalui interaksi simbiosis antara polip karang (hewan) dan zooxanthellae (alga fotosintetik). Zooxanthellae menggunakan CO₂ yang dihasilkan oleh polip untuk fotosintesis, menghasilkan oksigen dan bahan organik (karbohidrat dan protein) sebagai produk fotosintesis. Karang kemudian memanfaatkan produk fotosintesis ini untuk pertumbuhan dan pembentukan kerangka kalsium karbonat (CaCO₃). Secara kimia, reaksi pembentukan CaCO₃ dari ion Ca²⁺ dan bikarbonat (HCO₃⁻) pada air laut menghasilkan CO₂ dan H₂O. Dengan kata lain, meski karbon diikat dalam kerangka keras karang, proses kalsifikasi justru melepaskan sebagian CO₂ kembali ke lingkungan laut.
Secara ringkas: karang penyusun terumbu mengeluarkan CO₂ saat membentuk CaCO₃, sehingga terumbu karang tidak selalu bertindak sebagai penyerap karbon (carbon sink) bersih. Namun, kerangka terumbu menjerap karbon anorganik dalam bentuk CaCO₃, dan produktivitas primer terumbu karang sangat tinggi. Reaksi kalsifikasi dapat dituliskan: Ca²⁺ + 2 HCO₃⁻ → CaCO₃ + CO₂ + H₂O. Artinya, pembentukan kerangka kalsium karbonat oleh karang lebih banyak menggeser karbon anorganik dalam siklus laut dibanding menyerap karbon organik dari atmosfer dalam jangka pendek.
Dibanding terumbu karang, ekosistem pesisir vegetatif seperti hutan mangrove dan padang lamun (lamun) memiliki kapasitas serap karbon (blue carbon) yang jauh lebih besar per satuan luas. Mangrove dan lamun menyimpan karbon organik dalam biomassa dan lapisan tanah/substratnya, sedangkan terumbu karang menyimpan karbon dalam bentuk inorganik kerangka. Sebagai ilustrasi, kajian LIPI mencatat luas mangrove Indonesia ~3,24 juta ha dan padang lamun ~0,15 juta ha. Dengan luas tersebut, mangrove mampu menyerap sekitar 52,85 ton CO₂ per ha per tahun, dan lamun 24,15 ton CO₂ per ha per tahun. Total potensi serapan gabungan mangrove–lamun Indonesia dapat mencapai ~170 juta ton CO₂ per tahun jika ekosistem tersebut terpelihara baik.
Sebaliknya, terumbu karang tidak termasuk dalam kategori “karbon biru” karena kandungan karbondioksida yang disimpan lebih dominan berupa karbon anorganik. Bahkan, proses kalsifikasi terumbu karang dapat melepas CO₂. Dengan demikian, pada skala per area, terumbu karang jauh kurang efisien dalam menyerap karbon dibanding ekosistem mangrove atau lamun. Namun demikian, pelestarian terumbu karang tetap penting: selain menyumbang keanekaragaman hayati, struktur terumbu juga melindungi ekosistem lamun di sekitarnya dari gelombang sehingga membantu penyerapan karbon di ekosistem tetangga.
Indonesia, sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, memiliki luas terumbu karang sangat besar, sekitar 2,5 juta hektar. Wilayah perairannya masuk dalam “Segitiga Terumbu Karang” (Coral Triangle) global, dengan keanekaragaman karang tertinggi: setidaknya 75 marga dan ~750 jenis karang telah teridentifikasi di Indonesia. Kekayaan ini meliputi ribuan pulau di perairan tropis Indonesia (Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa, Sumatra) yang menjadi habitat terumbu.
Sayangnya, kondisi terumbu karang Indonesia cukup memprihatinkan. Data terbaru Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat 33,82% dari total luas terumbu karang Indonesia dalam kondisi rusak atau kurang baik. LIPI juga melaporkan sekitar 30,4% terumbu berada dalam kategori rusak/tidak baik. Hanya sebagian kecil (~2–3%) dalam kondisi baik hingga sangat baik, sisanya dalam kondisi kurang baik. Pemantauan LIPI 2019 menunjukkan hanya sekitar 28,8% lokasi terumbu yang tutupan karangnya melebihi 50%. Tren jangka panjang memperlihatkan pulih lambat, namun beban kerusakan akibat tekanan lokal dan global masih berat. Kondisi ini menjadi keprihatinan karena berkurangnya terumbu karang turut mengurangi jasa ekosistem penting (perlindungan pantai, pariwisata, perikanan) bagi Indonesia.
Terumbu karang sangat rentan terhadap pemanasan global. Peningkatan suhu laut memicu pemutihan karang (coral bleaching) ketika karang kehilangan simbiosis zooxanthellae. LIPI mencatat gelombang panas laut telah menyebabkan pemutihan masif di Indonesia (tahun 1983, 1997–98, 2010, dan terutama 2016) dengan angka kematian karang puluhan hingga 90% di beberapa wilayah. Studi internasional memperkirakan bahwa kenaikan suhu rata-rata global 1,5°C saja dapat mengancam 70–90% tutupan karang dunia, dan mendekati 99% jika mencapai 2°C. Selain panas, peningkatan kandungan CO₂ atmosfer menyebabkan pengasaman laut (penurunan pH), yang melemahkan struktur kerangka kalsium karbonat. Gabungan pemanasan dan pengasaman laut secara serius menurunkan tingkat kesehatan terumbu di seluruh dunia.
Di samping faktor iklim, aktivitas manusia lokal juga menghantam terumbu karang Indonesia. Praktik penangkapan ikan destruktif seperti bom dan sianida menimbulkan kerusakan langsung: menurut Suharsono (LIPI), satu bom ikan 2 kg dapat menghancurkan terumbu seluas ~19,6 m², sedangkan bom 1 kg menghancurkan ~4,9 m². Aktivitas ini masih terjadi di kawasan terpencil dengan pengawasan terbatas. Selain itu, perikanan berlebihan menguras spesies penting (misalnya pemakan alga), memperlambat regenerasi karang. Pembangunan pesisir dan aliran sedimentasi/limbah ke laut meningkatkan kekeruhan air dan nutrien, memicu pertumbuhan alga yang menekan karang dan menghalangi fotosintesis zooxanthellae. Semua tekanan ini – perubahan iklim dan tekanan manusia – saling menumpuk, mempercepat degradasi terumbu karang Indonesia.
Untuk menyelamatkan terumbu karang sekaligus berkontribusi pada tujuan pengurangan emisi, diperlukan tindakan terpadu dari masyarakat dan pembuat kebijakan. Strategi utama meliputi:
Dengan pendekatan holistik di atas, perlindungan terumbu karang akan selaras dengan upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan mengurangi emisi karbon. Pelestarian ekosistem kelautan ini bukan hanya soal menyelamatkan kekayaan hayati, tetapi juga bagian integral dari strategi mitigasi iklim dan pengurangan carbon footprint nasional.
Sumber: Informasi dan data di atas diperoleh dari lembaga riset dan konservasi terkemuka, termasuk laporan COREMAP-LIPI dan KKP (2023) tentang kondisi terumbu karang Indonesia, serta kajian IPCC dan organisasi konservasi internasional tentang karbon biru dan perubahan iklim.